JURNALPANTURA.COM, Menjadi tantangan tersendiri bagi Amerika Serikat untuk mengamankan pengembalian warga negaranya dari Korea Utara, salah satu negara paling terisolasi di dunia. Hal ini bahkan bisa menjadi lebih sulit dalam kasus Private Travis King, mengingat komunikasi antara kedua negara saat ini hampir tidak ada, menurut para diplomat dan perunding.
Private Travis King adalah anggota aktif tentara Amerika Serikat yang bertugas di Korea Selatan. Ia berlari masuk ke Korea Utara saat melakukan kunjungan sipil di Zona Demiliterisasi di perbatasan kedua negara Korea.
Sekretaris Angkatan Darat Amerika Serikat, Christine Wormuth, mengatakan pada hari Kamis bahwa Washington sudah berusaha sepenuhnya untuk menghubungi Pyongyang terkait Travis King, namun Korea Utara belum memberikan tanggapan.
Sejak Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menjabat pada tahun 2021, kontak terbatas antara Washington dan Pyongyang hampir-hampir berhenti. Tidak adanya perundingan mengenai program senjata nuklir Korea Utara dan penutupan perbatasan oleh Korea Utara sebagai respons terhadap pandemi COVID-19 menjadi penyebabnya.
"Korea Utara belum menunjukkan minat untuk berbicara dengan kita pada saat ini," kata Thomas Hubbard, mantan Duta Besar Amerika Serikat yang pernah melakukan perjalanan ke Pyongyang pada tahun 1994 untuk membawa pulang Bobby Hall, anggota terakhir militer Amerika Serikat yang ditahan di Korea Utara.
Pada masa itu, para pejabat Amerika Serikat baru saja menyepakati perjanjian nuklir awal dengan Kim Jong Il, ayah dari pemimpin Korea Utara saat ini, Kim Jong Un.
Hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Korea Utara tidak pernah ada, dan Swedia, negara yang secara resmi mewakili kepentingan Amerika Serikat di Pyongyang, menarik diplomat-diplomatnya pada Agustus 2020 akibat pandemi COVID-19. Pejabat Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka telah mencoba menghubungi Korea Utara melalui saluran hotline Komando PBB dan saluran lainnya, termasuk PBB di New York, di mana Korea Utara memiliki perwakilan.
Mickey Bergman, direktur eksekutif Richardson Center yang didirikan oleh mantan diplomat Bill Richardson yang pernah bernegosiasi dengan Korea Utara untuk pembebasan tahanan, mengatakan bahwa pendekatan terbaik untuk saat ini adalah menjaga sikap yang tenang.
Travis King kemungkinan besar akan diinterogasi dengan panjang oleh Korea Utara, dan kemudian mereka dapat memilih untuk mendeportasi atau menuntutnya. Bergman menyarankan agar Amerika Serikat tidak "menggebrak-gebrakkan dada" dan malah dengan tenang membawa pesan bahwa Washington menghormati hak Pyongyang untuk menahan dan menginterogasi tentara yang memasuki wilayah mereka.
Situasi yang dihadapi Travis King menjadi lebih rumit karena tidak mengetahui niatnya dan apakah ia benar-benar ingin kembali ke Amerika Serikat. King pernah ditahan di Korea Selatan lebih dari sebulan karena kasus penyerangan dan akan terbang kembali ke Amerika Serikat untuk menjalani disiplin militer.
Kasus tentara Amerika Serikat yang pergi ke Korea Utara sangat jarang terjadi. Pada tahun 1965, Charles Robert Jenkins, seorang sersan Tentara AS berusia 25 tahun, menyeberangi DMZ dan menghabiskan empat dekade di Korea Utara, di mana ia mengajar bahasa Inggris dan berperan sebagai mata-mata Amerika Serikat dalam film propaganda.
Tae Yong-ho, mantan diplomat Korea Utara yang melarikan diri ke Korea Selatan, mengatakan bahwa Travis King mungkin akan digunakan sebagai alat propaganda, tetapi belum jelas berapa lama Korea Utara akan memanfaatkan kehadirannya.
"Menahan tentara Amerika mungkin bukan pilihan yang efektif dalam jangka panjang bagi Korea Utara," kata Tae Yong-ho, yang sekarang menjadi anggota parlemen Korea Selatan.
Salah satu kasus penahanan di Korea Utara yang menjadi peringatan adalah kasus Otto Warmbier, seorang mahasiswa yang ditahan selama tur pada tahun 2015 dan dijatuhi hukuman 15 tahun kerja keras karena mencoba mencuri barang dengan slogan propaganda. Otto akhirnya dikembalikan ke Amerika Serikat dalam kondisi koma pada tahun 2017, tetapi meninggal beberapa hari kemudian.
Ayah Otto, Fred Warmbier, merasa empati dengan Travis King dan keluarganya. "Ini adalah tentang seorang pemuda, kita tidak tahu mengenai kondisi mentalnya," ungkap Warmbier dalam wawancara bersama Reuters. (*)